Minggu, 24 April 2016

Manusia Robot (Teruntuk Misael Pasaribu) written By Jasman Simanjuntak



Sebelum terlalu jauh, aku ingin katakan, aku sedang berada dalam keadaan yang tidak bebas. Aku dikekang keadaan yang membuatku tidak mampu melakukan yang kurasa membangunku dan mungkin juga kau harapkan bagiku dan bagimu. Kutambahkan lagi, janganlah engkau kecewa dengan keadaan yang tidak bebas. Hanya perjuangan yang dialogis yang mampu membebaskan. Dan aku belum temukan itu, kawan.
Hari ini, aku yakin, menjadi salah satu hari yang bahagia bagimu. Faktanya, kau, kawan, sedang melakukan ritual sebagai tanda lepasnya kau dari kampus menjadi manusia yang bebas dari satu “pengekang” yang “berbaik hati” memberimu titel di hari kebebasanmu. Namamu yang dahulu diberi orangtuamu kini jadi bertambah dengan gelar agung yang tidak semua orang memilikinya di republik ini. Belakangan kudengar, hanya 12% dari penduduk negeri ini punya gelar sepertimu, kawan. Sebagai kawan, aku turut senang dengan titel yang disematkan untukmu.
Pesanmu kubaca, ‘Ro Lae anon tu audit ate. Acara yudisium’. Tetapi aku kesulitan, bahkan bingung untuk memenuhi pesanmu itu, kawan. Janganlah kau berkecil hati jika aku tidak kau temui di tempat yang kaupesankan padaku. Maafkan aku. Sesungguhnya aku tidak bermaksud demikian. Seperti yang kuutarakan di atas, aku sedang berada dalam ketidakbebasan yang keterlaluan, membuatku sulit melakukan hal yang seharusnya kulakukan, termasuk menemui.
Sebelum kau memutuskan untuk mengurangi atau tetap bahagiamu, biarlah kutuangkan lagi kalimatku. Bukan. Ini bukan mempengaruhi sama sekali. Aku hanya ingin kau tahu keadaan sesungguhnya tentang kawanmu ini. Begini. Aku hanya seorang manusia, sepertimu yang hanya seorang. Namun jika kita berdua, bukan lagi menjadi seorang atau individu. Istilah biologi yang diberikan guru juga dosen, namanya populasi, itu pun kalau kita berinteraksi. Tentunya kau di sana juga ada banyak individu. Individu yang satu dan yang lain juga pada dasarnya sepertiku dan sepertimu, tetapi sesungguhnya tidak persis. Ada rasa A pada si B, dan ada rasa C pada si O, dan ada rasa A dan E pada si F. Silahkan kau tambahkan lagi, kawan. Tapi penekananku pada, ada rasa A dan C pada si L, meskipun tidak persis. Ada rasa senang pada si Moses, misalnya, saat kau yang adalah kawannya hari ini memperoleh titel. Aku juga senang, seperti si Moses, meskipun tidak dapat kutakar rasa antara aku dan si Moses. (Kuharap kau tidak bosan, kawan). Begitulah hari ini kawan. Mungkin kau akan berkurang bahagia saat aku tidak kau temui di sana. Namun aku ingin katakan, aku pasti bersedih saat tidak bisa menemui. Tapi aku juga yakin, aku akan bertambah bahagia saat kawan yang lain menemui di sana, meskipun rasanya tidaklah sama saat aku ada di sana. Apalagi jika kekasih ada di sana bersamamu.
Kata orang besar yang namanya tidak kuperhatikan, saat kau tidak tahu sesuatu, sesungguh kau tahu sesuatu yang lain. Begitulah, kawan, kita saat kita sedang kehilangan sesuatu, kita akan memperoleh sesuatu yang lain. Sekarang aku mungkin kehilangan riang dan tawa bersamamu hari ini,  tapi aku pasti mendapatkan sesuatu yang lain yang belum kutahu. Pula kau kawan, mungkin hari ini kau kehilangan wajahku, kau akan mendapatkan wajah tulus yang lain. Makanya, tetaplah bahagia, begitu kata mereka yang sulit untuk kuterapkan dalam hidup ini.
Sudihkah kau mau berpikir sedikit berat saat membaca rumpun kalimat ini, kawan? Ah, aku begitu bodoh, pastilah kau mau. Bukankah kau juga [bekas] mahasiswa sepertiku. Kau tahu, kawan, seorang kawan lain berceloteh padaku hari ini. Katanya, “Budak-budak lepas dari universitas.” untuk orang-orang yang menerima titel dari Unimed bulan ini. Ah, kamu jangan tersinggung dulu. Kendati dia bilang begitu, aku punya istilah lain, “Robot-robot kampus dilepas.” Sekali lagi jangan tersinggung. Aku adalah kau. Baiklah biarlah kuterakan.
Kita belajar di kampus selama kurang lebih empat tahun. Di masa itu, aku melihat, mayoritas kita menjadi sebuah rekening bank. Itu istilah yang kudapat dari Paulo Freire. Begini. Dosen kebanyakan hanya memberi tahu perihal mata kuliahnya kepada kita. Kita diisi dengan ilmu-ilmu yang kita sendiri tidak jelas buat apa ilmu itu. Sekadar itu. (Sekarang waktunya berpikir sedikit berat). Coba pikirkan. Untuk apa itu ilmu mata kuliah itu. Bukankah itu tidak menjadi hal yang mendasar dalam hidup ini?
Kita bagaikan bank, diperlakukan oleh dosen. Dosen menabungkan ilmunya kepada kita. Dan sedihnya, kita menerima begitu saja. Ilmunya ditabung kepada rekeningnya (kita). Kita ini (rekening) objek bagi si Dosen. Kita diperlakukan si dosen tidak lagi subjek, tetapi sebagai objek. Kita dididik si Dosen menjadi A. Kita telah didikte. Kita tlah digiring ke suatu tujuan yang dipentingkan si Dosen. Kita menjadi alat si Dosen, juga koleganya. Kasarnya, kita diperlakukan tidak lagi manusia sebab kita hanya menjadi bahan tabungan si Dosen. Kata lain, kita seolah-oleh makhluk yang tidak berpikiran. Kita adalah binatang. Kau setuju, kawan?
Jangan buru-buru menjawabnya. Pikirkan dulu dengan baik-baik. Aku mengatakan begitu atas membaca banyak buku serta merenungkannya dalam waktu yang tidak singkat terkait dengan yang kualami, juga melihat banyak mahasiswa di Unimed.
Aku mengharapkan, dosen dan mahasiswa sama-sama menjadi subjek. Bukan satu subjek yang satu lagi objek, juga bukan sama-sama objek. Mahasiswa dan dosen sama-sama belajar. Kata lain, dosen-yang-mahasiswa dan mahasiswa-yang-dosen. Istilah itu juga kuadopsi dari Paulo Freire. Jika demikian, maka tercipta dialog antara kedua dan sama-sama menghadapi masalah, bukan lagi menjadi penabung dan tabungan. Mahasiswa dan dosen sama-sama menghargai  kemanusian  masing-masing.
Aduh… aku keliru menuangkan hal yang sedikit berat di hari bahagiamu, kawan. Maafkan aku. Aku berbuat demikian karena aku tidak ingin kau dan aku (kita) menjadi orang yang menghilangkan kemanusiaan orang lain. Aku harap kita menjadi pencipta dialog yang baik. Aku harap kau begitu karena kau adalah kawanku, terlebih karena kau adalah manusia. Kau adalah manusia. Manusia itu mengerti dengan dirinya dan sejarahnya (lingkungan).
Bayangkan, kawan, berapa banyak orang yang menerima titel hari ini. Seperti kataku di atas, [maaf] mereka kebanyakan adalah robot dibentuk untuk menjadi ini dan itu agar bisa menjadi alat si Ana si Inu. Mereka telah dihilangkan pikirannya secara halus untuk bebas memilih. Aku tidak ingin kau seperti itu, kendati kau bebas dan bisa memilih, kawan. Maafkan aku. Aku tidak ingin kau….. karena kau adalah manusia bukan robot manusia atau manusia robot.
Itulah sebabnya aku gandrung mengajak orang untuk berdiskusi dan membaca buku secara kritis. Sebab dengan keduanya itu (tentu saja ada cara lain) tercipta dialog yang menjadikan manusia menjadi manusia seutuhnya bukan manusia robot atau robot manusia. Tapi aku tak punya daya besar. Usahaku tidak mampu menjangkau sebegitu banyak manusia di kampus kita (itu pun hanya kampus kita, bagaimana tempat yang lain?).
Kau boleh tularkan esensi dari coretan ini, kawan. Aku akan sangat berterima kasih dan bersyukur jika kua mau melakukannya, kawan.
Sekarang, kau berada di sebuah jalan panjang. Kawan, tataplah tajam ke depan. Sesekali tolehkan lembut ke belakang. Juga kiri-kananmu. Karena demikian kau akan menemukan dialog, meski dalam arti yang tidak sebenarnya.
Sebagai yang gandrung akan dialog, tentulah aku mengharap kau membalas coretanku ini dengan pendapatmu. Aku akan senang hati membaca balasanmu, kawan. Percayalah.
Kau boleh tidak setuju dengan pendapatku.
Dan di akhir dari rumpun kalimat ini, aku ingin katakan, “Aku turut merasa senang, bahkan bahagia, dengan pencapaian titel barumu, kawan.”
Selamat jadi sarjana, kawan, Misael Pasaribu

Salam dari Jasman F. Simanjuntak                                                                                                    
Medan, 08 Oktober 2015         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar