Sebelum terlalu jauh,
aku ingin katakan, aku sedang berada dalam keadaan yang tidak bebas. Aku
dikekang keadaan yang membuatku tidak mampu melakukan yang kurasa membangunku
dan mungkin juga kau harapkan bagiku dan bagimu. Kutambahkan lagi, janganlah
engkau kecewa dengan keadaan yang tidak bebas. Hanya perjuangan yang dialogis
yang mampu membebaskan. Dan aku belum temukan itu, kawan.
Hari
ini, aku yakin, menjadi salah satu hari yang bahagia bagimu. Faktanya, kau,
kawan, sedang melakukan ritual sebagai tanda lepasnya kau dari kampus menjadi
manusia yang bebas dari satu “pengekang” yang “berbaik hati” memberimu titel di
hari kebebasanmu. Namamu yang dahulu diberi orangtuamu kini jadi bertambah
dengan gelar agung yang tidak semua orang memilikinya di republik ini.
Belakangan kudengar, hanya 12% dari penduduk negeri ini punya gelar sepertimu,
kawan. Sebagai kawan, aku turut senang dengan titel yang disematkan untukmu.
Pesanmu
kubaca, ‘Ro Lae anon tu audit ate. Acara
yudisium’. Tetapi aku kesulitan, bahkan bingung untuk memenuhi pesanmu itu,
kawan. Janganlah kau berkecil hati jika aku tidak kau temui di tempat yang
kaupesankan padaku. Maafkan aku. Sesungguhnya aku tidak bermaksud demikian.
Seperti yang kuutarakan di atas, aku sedang berada dalam ketidakbebasan yang
keterlaluan, membuatku sulit melakukan hal yang seharusnya kulakukan, termasuk
menemui.
Sebelum
kau memutuskan untuk mengurangi atau tetap bahagiamu, biarlah kutuangkan lagi
kalimatku. Bukan. Ini bukan mempengaruhi sama sekali. Aku hanya ingin kau tahu
keadaan sesungguhnya tentang kawanmu ini. Begini. Aku hanya seorang manusia,
sepertimu yang hanya seorang. Namun jika kita berdua, bukan lagi menjadi
seorang atau individu. Istilah biologi yang diberikan guru juga dosen, namanya
populasi, itu pun kalau kita berinteraksi. Tentunya kau di sana juga ada banyak
individu. Individu yang satu dan yang lain juga pada dasarnya sepertiku dan
sepertimu, tetapi sesungguhnya tidak persis. Ada rasa A pada si B, dan ada rasa
C pada si O, dan ada rasa A dan E pada si F. Silahkan kau tambahkan lagi,
kawan. Tapi penekananku pada, ada rasa A dan C pada si L, meskipun tidak
persis. Ada rasa senang pada si Moses, misalnya, saat kau yang adalah kawannya
hari ini memperoleh titel. Aku juga senang, seperti si Moses, meskipun tidak
dapat kutakar rasa antara aku dan si Moses. (Kuharap kau tidak bosan, kawan). Begitulah hari ini kawan. Mungkin
kau akan berkurang bahagia saat aku tidak kau temui di sana. Namun aku ingin katakan,
aku pasti bersedih saat tidak bisa menemui. Tapi aku juga yakin, aku akan
bertambah bahagia saat kawan yang lain menemui di sana, meskipun rasanya
tidaklah sama saat aku ada di sana. Apalagi jika kekasih ada di sana bersamamu.
Kata
orang besar yang namanya tidak kuperhatikan, saat kau tidak tahu sesuatu, sesungguh kau tahu sesuatu yang lain.
Begitulah, kawan, kita saat kita sedang kehilangan sesuatu, kita akan
memperoleh sesuatu yang lain. Sekarang aku mungkin kehilangan riang dan tawa
bersamamu hari ini, tapi aku pasti
mendapatkan sesuatu yang lain yang belum kutahu. Pula kau kawan, mungkin hari
ini kau kehilangan wajahku, kau akan mendapatkan wajah tulus yang lain.
Makanya, tetaplah bahagia, begitu kata mereka yang sulit untuk kuterapkan dalam
hidup ini.
Sudihkah
kau mau berpikir sedikit berat saat membaca rumpun kalimat ini, kawan? Ah, aku
begitu bodoh, pastilah kau mau. Bukankah kau juga [bekas] mahasiswa sepertiku.
Kau tahu, kawan, seorang kawan lain berceloteh padaku hari ini. Katanya, “Budak-budak
lepas dari universitas.” untuk orang-orang yang menerima titel dari Unimed
bulan ini. Ah, kamu jangan tersinggung dulu. Kendati dia bilang begitu, aku
punya istilah lain, “Robot-robot kampus dilepas.” Sekali lagi jangan
tersinggung. Aku adalah kau. Baiklah biarlah kuterakan.
Kita
belajar di kampus selama kurang lebih empat tahun. Di masa itu, aku melihat,
mayoritas kita menjadi sebuah rekening bank. Itu istilah yang kudapat dari
Paulo Freire. Begini. Dosen kebanyakan hanya memberi tahu perihal mata
kuliahnya kepada kita. Kita diisi dengan ilmu-ilmu yang kita sendiri tidak
jelas buat apa ilmu itu. Sekadar itu. (Sekarang waktunya berpikir sedikit
berat). Coba pikirkan. Untuk apa itu ilmu mata kuliah itu. Bukankah itu tidak
menjadi hal yang mendasar dalam hidup ini?
Kita
bagaikan bank, diperlakukan oleh dosen. Dosen menabungkan ilmunya kepada kita.
Dan sedihnya, kita menerima begitu saja. Ilmunya ditabung kepada rekeningnya
(kita). Kita ini (rekening) objek bagi si Dosen. Kita diperlakukan si dosen
tidak lagi subjek, tetapi sebagai objek. Kita dididik si Dosen menjadi A. Kita
telah didikte. Kita tlah digiring ke suatu tujuan yang dipentingkan si Dosen.
Kita menjadi alat si Dosen, juga koleganya. Kasarnya, kita diperlakukan tidak
lagi manusia sebab kita hanya menjadi bahan tabungan si Dosen. Kata lain, kita
seolah-oleh makhluk yang tidak berpikiran. Kita adalah binatang. Kau setuju,
kawan?
Jangan
buru-buru menjawabnya. Pikirkan dulu dengan baik-baik. Aku mengatakan begitu
atas membaca banyak buku serta merenungkannya dalam waktu yang tidak singkat
terkait dengan yang kualami, juga melihat banyak mahasiswa di Unimed.
Aku
mengharapkan, dosen dan mahasiswa sama-sama menjadi subjek. Bukan satu subjek
yang satu lagi objek, juga bukan sama-sama objek. Mahasiswa dan dosen sama-sama
belajar. Kata lain, dosen-yang-mahasiswa dan mahasiswa-yang-dosen. Istilah itu
juga kuadopsi dari Paulo Freire. Jika demikian, maka tercipta dialog antara
kedua dan sama-sama menghadapi masalah, bukan lagi menjadi penabung dan
tabungan. Mahasiswa dan dosen sama-sama menghargai kemanusian
masing-masing.
Aduh…
aku keliru menuangkan hal yang sedikit berat di hari bahagiamu, kawan. Maafkan
aku. Aku berbuat demikian karena aku tidak ingin kau dan aku (kita) menjadi
orang yang menghilangkan kemanusiaan orang lain. Aku harap kita menjadi
pencipta dialog yang baik. Aku harap kau begitu karena kau adalah kawanku,
terlebih karena kau adalah manusia. Kau adalah manusia. Manusia itu mengerti
dengan dirinya dan sejarahnya (lingkungan).
Bayangkan,
kawan, berapa banyak orang yang menerima titel hari ini. Seperti kataku di
atas, [maaf] mereka kebanyakan adalah robot dibentuk untuk menjadi ini dan itu
agar bisa menjadi alat si Ana si Inu. Mereka telah dihilangkan pikirannya
secara halus untuk bebas memilih. Aku tidak ingin kau seperti itu, kendati kau
bebas dan bisa memilih, kawan. Maafkan aku. Aku tidak ingin kau….. karena kau
adalah manusia bukan robot manusia atau manusia robot.
Itulah
sebabnya aku gandrung mengajak orang untuk berdiskusi dan membaca buku secara
kritis. Sebab dengan keduanya itu (tentu saja ada cara lain) tercipta dialog
yang menjadikan manusia menjadi manusia seutuhnya bukan manusia robot atau
robot manusia. Tapi aku tak punya daya besar. Usahaku tidak mampu menjangkau
sebegitu banyak manusia di kampus kita (itu pun hanya kampus kita, bagaimana
tempat yang lain?).
Kau
boleh tularkan esensi dari coretan ini, kawan. Aku akan sangat berterima kasih
dan bersyukur jika kua mau melakukannya, kawan.
Sekarang,
kau berada di sebuah jalan panjang. Kawan, tataplah tajam ke depan. Sesekali
tolehkan lembut ke belakang. Juga kiri-kananmu. Karena demikian kau akan
menemukan dialog, meski dalam arti yang tidak sebenarnya.
Sebagai
yang gandrung akan dialog, tentulah aku mengharap kau membalas coretanku ini
dengan pendapatmu. Aku akan senang hati membaca balasanmu, kawan. Percayalah.
Kau
boleh tidak setuju dengan pendapatku.
Dan
di akhir dari rumpun kalimat ini, aku ingin katakan, “Aku turut merasa senang,
bahkan bahagia, dengan pencapaian titel barumu, kawan.”
Selamat jadi sarjana,
kawan, Misael Pasaribu
Salam
dari Jasman F. Simanjuntak
Medan, 08 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar